MAS KAWIN

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}

MAS KAWIN DALAM PERNIKAHAN ISLAMI

Oleh : Ari Suparli

Mas kawin atau disebut mahar dalam pernikahan islami/agama/siri sama saja dengan mas kawin dalam pernikahan lainnya baik di KUA maupun lainnyaGambar adalah bentuk pemberian dari suami kepada istri sebagai tanda resminya hubungan suami istri diantara mereka berdua yang diikat dalam sebuah aqad yang syar‘i. Allah Subhanahu Wa Ta‘ala berfirman: Berikanlah maskawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa‘: 4) Sedangkan bentuk dan nilai maskawin itu ditentukan oleh pihak istri, baik diri wanita itu atau pun walinya. Dan tidak ada ketentuan dari Islam untuk membatasi besar dan nilainya. Semua akan berpulang kepada pihak wanita atau juga adat dan kebiasaan yang terjadi di suatu tempat/negeri. Dan sebagai syarat dari pernikahan, maka pihak wanita berhak untuk menentukan besar dan nilainya itu sementara pihak calon suami harus memenuhinya sesuai dengan permintaan pihak wanita. Hanya saja Islam tidak menganjurkan untuk memperberat mahar itu karena bisa berakitab menyusahkan pihak laki-laki. Di zaman Rasulullah SAW ada wanita yang rela dinikahkan dengan mahar seadanya, yang penting memiliki nilai meski tidak besar. Sedangkan bentuk mahar dan nilainya bisa saja bermacam-macam, antara lain:

1. Sandal. Dari Amir bin Rabiah bahwa seorang wanita dari Bani Fuzarah dinikahkan dengan mahar dua buah sendal. Rasulullah SAW bertanya, ”Relakah kamu dinikahkan dengan mahar dua sendal ini?”. Wanita itu menjawab,”Ya”. Maka Rasulullah SAW membolehkannya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmizy).

2. Hafalan Al-Quran. Dari Sahal bin Said bahwa seorang wanita datang kepada Nabi SAW dan berkata, ”Ya Rasulullah. Aku menghibahkan diriku untuk kau kawini.” Dan berdiri lama hingga seorang laki-laki dberdiri, ”Ya Rasulullah, nikahkan saja dengan aku bila anda tidak menginginkannya. Rasulullah SAW menjawab, ”Apakah kamu punya sesuatu yang bisa kamu berikan sebagai mahar untuknya?”. “Saya tidak punya kecuali sarungku ini saja”, jawabnya. Rasulullah SAW bersabda, ”Kalau kamu berikan sarungmu itu maka kamu tidak punya sarung lagi, carilah yang lain.” “Tapi aku tidak punya apapun”, jawabnya. “Carilah meski hanya cincin dari besi.” Maka dia mencarinya tapi tidak bisa mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya, ”Adakah kamu menghafal beberapa ayat dari al-Quran?”. “Ya, surat ini dan itu”, jawabnya. Rasulullah SAW bersabda, ”Aku nikhakan kamu dengannnya dengan mahar berupa apa yang kamu miliki dari Al-Quran.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Ke-Islaman seseorang (dengan cara suami masuk Islam ) Dari Anas bahwa Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, namun ummu Sulaim menjawab, ”Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak lamarannya, sayangnya anda kafir dan saya muslim. Tidak halal bagiku dinikahimu. Tapi bila anda masuk Islam, maka ke-Islaman anda sudah bisa menjadi mahar buatku dan saya tidak minta mahar yang selain itu. ”. Maka keislaman Abu Thalhah itu menjadi mahar bagi Ummu Sulaim. (HR. An-Nasai).

4. Baju besi , ketika Ali bin Abi Thalib menikahi putri Rasulullah saw, Siti Fatimah, Rasulullah saw bersabda:

ﻪﻟ لﺎﻗ : ﺎﺌﻴﺵ ﺎﻬﻄﻋا . لﺎﻘﻓ : ءﻰﺵ ﻦﻣ ىﺪﻨﻋ ﺎﻣ , لﺎﻗ : ﻲﻠﻋ لﺎﻗ ؟ﺔﻴﻤﻄﺤﻟا ﻚﻋرد ﻦﻳﺄﻓ : ﻲه لﺎﻘﻓ ىﺪﻨﻋ : ﺎهﺎﻳإ ﺎﻬﻄﻋﺄﻓ (( ] ﻲﺋﺎﺴﻨﻟاو دواد ﻮﺑأ ﻪﺟﺮﺥأ

Artinya: Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib: “Berikanlah sesuatu kepadanya (sebagai mas kawin)?” Ali menjawab: “Saya tidak mempunyai sesuatu apapun”. Rasulullah saw bersabda kembali:

“Mana baju besimu yang telah retak itu?” Ali menjawab: “Ini ada pada saya”. Rasulullah saw bersabda kembali: “Berikanlah kepadanya (kepada Fathimah bint Rasulullah saw)” (HR. Abu Dawud dan Imam Nasai).

5. Dengan bekerja, telah terjadi ketika Nabi Musa menikahi salah seorang gadis putri dari laki-laki tua (dalam satu riwayat dikatakan laki-laki tua itu adalah Nabi Syuaib), dengan mas kawin bekerja untuk laki-laki tua itu (calon mertuanya) selama delapan tahun sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam surat al-Qashash ayat 27:

َﺖْﻤَﻤْﺗَأ ْنِﺈ َﻓ ٍﺞ َﺠِﺣ َﻲِﻥﺎ َﻤَﺛ ﻲِﻥَﺮُﺟْﺄَﺗ ْنَأ ﻰ َﻠَﻋ ِﻦْﻴَﺗﺎ َه ﱠﻲَﺘَﻨْﺑا ىَﺪْﺣِإ َﻚ َﺤِﻜْﻥُأ ْنَأ ُﺪ ﻳِرُأ ﻲﱢﻥِإ َلﺎَﻗ ْﻨِﻋ ْﻦِﻤَﻓ اًﺮْﺸَﻋ َكِﺪ

Artinya: “Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan) dari kamu” (QS. Al-Qashash:27).

Untuk ketrerangan lebih lanjut tentang mas kawin dan jasa menikahkan hub 0852.115.0062, 0838.2054.4554 atau Pin BB 3269 EBBB

Syarat Sarat Nikah

Syarat-Syarat Nikah
Akad nikah yang shahih mempuyai empat syarat;
Pertama; ridho kedua mempelai. Maka tidak boleh memaksa seorang laki-laki untuk menikahi wanita yang tidak diinginkannya, dan tidakboleh memaksa seorang wanita untu menikahi laki-laki yang tidak diinginkannya.

Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisaa’: 19)

Nabi bersabda, Tidak boleh menikahkan seorang janda sampai dia diajak musyawarah (diminta pendapat) dan tidak boleh menikahkan seorang gadis sampai dimintai izinnya.”

Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya seorang gadis? Beliau bersabda, “Apabila dia diam�” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

diriwayatkan dari Khantsa’ bin Judzam bahwa ayahnya menikahkannya tanpa seizinnya, sedangkan dia adalah janda, maka dia mendatangi Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam dan beliau menolak pernikahannya. (HR. Ibnu Majjah)

Nabi melarang menikahkan perempuan kecuali tanpa keridhoan dari perempuan tersebut, baik dia gadis atau janda. Bedanya kalau janda harus mengucapkan bahwa dia ridho, sedangkan untuk gadis cukup dengan diamnya karena dia malu untuk menyampaikan rasa ridhonya secara terang-terangan. Apabila dia tidak ridho, maka tidak boleh ada yang memaksanya untuk menikah, walaupun itu ayahnya. sebagaimana dalil-dalil diatas.

Dan tidak ada dosa bagi ayahnya bila tidak menikahkannya dalm keadaan seperti ini, karena dialah yang enggan untuk menikah. Akan tetapi wajib baginya menjaga dan melindunginya. Apablia ada dua orang yang melamarnya, lalu anak perempuannya berkata, “Aku mau menikah dengan yang ini,” lalu walinya ingin menikahkan dengan yang lain, maka dia dinikahnkan dengan lelaki yang diinginkannya apabila dia sekufu’. Apabila tidak maka walinya berhak melarangnya dalam keadaan seperti ini, dan tidakmengapa baginya. Sebagaimana perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitab Az-Zawaj.

Untuk konsultasi hubungi bapa Ari Suparli 0822.1700.0362 atau Pin BB 3269 EBBB

NIKAH SIRI SAH APABILA SARAT DAN RUKUN NIKAH TERPENUHI

Nikah Siri, SAH

Sebenarnya nikah siri,nikah agama, nikah islami, nikah syar’i, sah sepanjang syarat dan rukun nikah terpenuhi yaitu :

A. Syarat Nikah
1.Syarat calon pengantin pria sebagai berikut :
a)Beragama Islam
b)Terang prianya (bukan banci)
c)Tidak dipaksa
d)Tidak beristri empat orang
e)Bukan Mahram bakal istri
f)Tidak mempunyai istri dalam yang haram dimadu dengan bakal isteri
g)Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya
h)Tidak sedang dalam ihram atau umrah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ “Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim)
 2.Syarat calon pengantin wanita sebagai berikut :
a)Beragama Islam
b)Terang wanitanya (bukan banci)
c)Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
    لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458) Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
d)Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
e)Bukan mahram bakal suami
f)Belum pernah dili’an ( sumpah li’an) oleh bakal suami.
g)Terang orangnya
 h)Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah

B.Rukun nikah :
 1.Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah.

Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
 2.Adanya ijab,

yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
 3.Adanya qabul,

yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
 4.Adanya Wali

Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki. Dalam hadits disebutkan: إِلاَّ بِوَلِيٍّ لاَ نِكَاحَ “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i) Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ “Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)
 5.Adanya dua orang saksi

Saksi adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma: لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ (رواه الطبراني، وهو في صحيح الجامع 7558) “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i)

maka pernikahan tersebut sah, baik menurut hukum Islam maupun hukum positif (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Pernikahan siri yang dilaksanakan karena urusan nafsu pun tetap dibenarkan oleh Syariat Islam karena justru dengan menikahlah menyalurkan hawa nafsu dibenarkan. Dengan menikah maka suami maupun istri sama-sama mempunyai hak harus dipenuhi dan sama-sama punya tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi pula.

 

 

 

 

SAHKAH NIKAH SIRI/NIKAH AGAMA MENURUT ATURAN ISLAM DAN UNDANG UNDANG

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}

SAHKAH NIKAH SIRI/NIKAH AGAMA MENURUT  ATURAN ISLAM DAN UNDANG UNDANG

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  menyebutkan bahwa : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian, dalam Pasal 2 ayat (2)  menyebutkan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Artinya, pernikahan adalah sah apabila dilakukan  menurut hukum agamanya. Adapun pencatatan perkawinan tidak terintegrasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan tersebut, melainkan terpisah pada klausul pasal yang berbeda yakni Pasal 2 ayat (2), sehingga memiliki pengertian pernikahan menurut agama sah meskipun tidak dicatatkan.